Read: Matius 21:1-22
Aku rasa boleh dibilang aku ini adalah seorang penyamun.
Dalam film-film jaman dahulu biasanya sosok penyamun digambarkan dengan sosok yang garang, berjanggut atau berewokan, berbadan kekar dan bertato. Ya, sosok yang melambangkan suatu kekerasan dan ketidak-tertiban. Tapi dalam film-film jaman sekarang, rasanya sedikit berubah. Banyak film-film menggambarkan sosok elite dan cool, rapi dan pendiam malahan menjadi mafia atau teroris. Ya, bagi mereka yang suka nonton film pasti mengerti apa yang aku maksudkan.
Karena itulah aku merasa kalau aku ini seorang penyamun, seorang penyamun jaman sekarang. Bukan lagi bersosok garang, berewokan dan bertato. Tapi malah berwajah tenang, rambut rapi dan tanpa tato. Aku penyamun jaman sekarang.
Aku berani berkata demikian sesaat setelah aku membaca apa yang dikatakan oleh Yesus saat Ia mengusir semua pedagang di dalam Bait Allah.
"Rumah-Ku adalah rumah doa. Tetapi kamu menjadikannya sarang penyamun" (Luk 19:46).
Aku pikir para pedagang tersebut tentu bingung tujuh keliling dan marah. Meja-meja penukar uang dan bangku-bangku pedagang merpati di jungkir balikkan oleh Yesus. Padahal apa yang mereka lakukan merupakan suatu hal yang mereka rasa benar dan sudah menjadi kebiasaan dalam hidup mereka sehari-hari.
Bahkan Iman-imam kepala dan para ahli taurat yang jaman itu dianggap sebagai orang religius juga murka yang berarti mereka sudah biasa akan perdagangan atau pelayanan di dalam Bait Allah tersebut.
Makanya saat aku bandingkan Bait Allah tersebut dengan diriku, yang juga adalah Bait Allah, membuat aku merasa seperti seorang penyamun saja. Tidak tahukah aku, bahwa tubuhku adalah bait Roh Kudus yang diam di dalamku, Roh Kudus yang aku peroleh dari Allah dan bahwa aku bukan milikku sendiri? (I Kor 6:19)
Rasanya tidak pantas jika aku tuliskan dalam sharing ini segala karya tanganku yang membuat diriku ini layak untuk dijungkir balikkan. Malu juga rasanya. Mungkin yang bisa aku lakukan hanya berdiri dihadapan cermin kamarku dan melihat wajah sang penyamun.
Ah, aku hanya bisa berdoa dan berusaha agar aku tidak menjadi seperti pohon ara yang sekonyong-konyong kering saat Yesus menemukan aku tidak berbuah.
Aku katakan pada diriku; Jangan menunggu sampai Dia menjungkir balikan diriku, tapi aku rasa ada baiknya aku sendiri terlebih dahulu menjungkir balikan diriku. Menata rapi sesudahnya itu dan saat Yesus datang nanti, saat Ia masuk ke dalam baitNya ini bukan murka yang bangkit dari dalam diriNya tetapi senyum yang indah selaksa pelangi dari dalam surga.
Rasanya sudah saatnya juga aku bangun dari tidurku, hari sudah hampir siang (Roma 13:11-14).
Dan sajakpun mulai mengalun:
Saatnya bangun wahai penyamun, kebaskan debu yang semakin membuat ngeri,
Jangan biarkan sakitmu mengikat diri, hanya karena egomu yang ngelantur.
Saatnya bangun wahai penyamun, kikis dakimu yang semakin meninggi
Jangan biarkan malasmu mengikat nurani, membuat setiap hati mundur teratur.
Sang Penyamun (yang mau dijungkir balikkan),
Kwang.
No comments:
Post a Comment