Thursday, August 24, 2006

Kesan Baik Kesan Buruk

Kemarin malam saat aku sedang berada dalam perjalanan pulang menuju ke singapura setelah menyelesaikan liburanku, tiba-tiba bapak yang duduk di sebelahku mengajak bicara. Dalam keadaan lapar dan sedikit pusing karena vertigo yang mau kumat terpaksa aku dengarkan cerita si bapak yang ternyata seorang warga singapura beristrikan seorang wanita dari Jogja.

Sang bapak mengeluh mengatakan betapa jeleknya dan kurang ajarnya petugas imigrasi di Jakarta. Diikuti dengan suara mendayu sang ibu yang sedang menggendong putrinya; ia mengatakan bahwa saat mereka tiba di Jakarta ternyata petugas imigrasi tidak memberikan tanda masuk ke negeri tercinta sang istri; alhasil kemarin sore mereka sempat kerepotan saat dituduh masuk ke Indonesia secara illegal.

Lucu juga mendengar komentar sang ibu, yang mengatakan "lah wong sama-sama Indonesia kok begitu yach de". Dengan berat hati aku katakan kepada beliau bahwa ini bukan suatu yang baru, bukan pertama kali aku dengar hal seperti ini.

Pendek kata, sang bapak dan ibu kecewa sekali, kasihan juga saat mendengar cerita mereka yang pada akhirnya memang diperbolehkan lewat setelah memberikan uang sekitar 1 juta rupiah seperti yang diminta oleh sang petugas. Diselipin aja di dalam passport katanya.

Setelah berpisah dengan mereka, aku renungkan kejadian tersebut. Kesan baik kesan buruk, dari cerita tadi yang tertinggal hanyalah kesan buruk. Ya, hanya kesan buruk yang tertinggal bagi si bapak warga singapura yang beristrikan warga Indonesia tersebut. Aneh dan jahat sekali katanya mengapa ada petugas negara yang berani bersikap seperti itu.

Kesan baik kesan buruk, aku bertanya pada diriku sendiri, kesan apa yang aku berikan kepada orang-orang ada di sekelilingku?

Tak jarang aku dengar orang sering berkata, mengapa harus perduli pada orang lain, yang penting kita tidak mengganggu mereka, atau ada yang mengatakan selama aku sendiri baik, cukuplah; mengapa harus sibuk ngurus orang lain?

Aku baca juga sharing dari salah satu anggota komunitasku (Sharing Suki ttg "Apakah anda seorang pelayan?"). Memang pada kenyataannya, aku tidak berbeda jauh dengan si petugas imigrasi yang memberikan kesan buruk kepada si bapak tadi; seringkali tidak aku sadari bahwa sikap, mimik wajah, sikap tubuh, tingkah laku, intonasi suara yang aku lakukan sering tidak terlihat seperti seorang pelayan.

Ya, walau aku tidak terang-terangan meminta jasa tapi seringkali sikap hatiku lebih memancarkan kesan yang buruk daripada kesan yang baik.

"Demikianlah hendaknya terangmu bercahaya di depan orang, supaya mereka melihat perbuatanmu yang baik dan memuliakan Bapamu di sorga", begitu yang dikatakan dalam Matius 5:16.

Lalu seperti apa yang dikatakan Rasul Paulus dan Timotius kepada umat di Filipi,"Namun baik juga perbuatanmu, bahwa kamu telah mengambil bagian dalam kesusahanku" (Filipi 4:14)

Atau seperti yang tertulis dalam III Yohanes 1:6,"Mereka telah memberi kesaksian di hadapan jemaat tentang kasihmu. Baik benar perbuatanmu, jikalau engkau menolong mereka dalam perjalanan mereka, dengan suatu cara yang berkenan kepada Allah".

Orang bilang yang penting kita setia kepada Tuhan, bener juga sih, tapi setia seperti apa? Hanya tahu kalau Yesus itu Tuhan? Rajin ke gereja dan beriman? Tapi kata Yakobus, Iman tanpa perbuatan adalah mati.

Kalau aku hanya sibuk sama diriku sendiri dan terus menebarkan kesan yang buruk kepada orang di sekelilingku, apa ini termasuk iman tanpa perbuatan? Iman seperti apa yang aku punya? Iman kepada Yesus Kristus? Yang adalah Kasih? Tapi terhadap sekeliling aku malah tidak memberikan kasih? Ungkapan kasih yang hanya sebatas senyum saja, tapi bukan gosip.

Ah, senyum simpul melintas kaku, di atas bibir yang diam membisu. Cuma bisa berharap, moga-moga perbuatanku bersinar terang dan kesan baik terlihat bercahaya, sehingga tak malu saat menyebut diri seorang percaya.

Yang pengen bisa beri kesan baik,
Kwang.

No comments: