*renungan di masa yang lalu*
Hai anakku, janganlah pertimbangan dan kebijaksanaan itu menjauh dari matamu, peliharalah itu, maka itu akan menjadi kehidupan bagi jiwamu (Amsal 3:21-22)
Percaya atau tidak, kalau aku perhatikan diriku dan juga orang-orang disekitarku atau orang-orang yang kita kenal pada umumnya memiliki suatu kecenderungan yang sama. Suatu kecenderungan yang notabene bukan merupakan hal yang baik sebenarnya.
Yang aku ingin katakan adalah kecenderungan untuk memikirkan hal-hal negative terlebih dahulu dibandingkan yang positif or in English, negative come first. Ya, tenang saja, aku tidak salah ketik kok.
Sebagai contoh; salah satu sahabatku yang membagikan pengalamannya (contoh yang mewakili kita???), sebagai seorang mahasiswi dia sibuk dengan tugas-tugas sekolahnya (ah I still remember all those days), dan untuk menambah uang sakunya, sama seperti anak-anak lain pada umumnya ia bekerja paruh waktu di salah satu restoran. Oh ya ia juga memiliki aktivitas lain, anggota suatu komunitas/persekutuan.
Suatu hari, ia mengalami kebuntuan yang luar biasa saat mengerjakan tugas sekolahnya, dan pada saat yang bersamaan, ia memiliki komitmen untuk hadir dalam pertemuan komunitasnya. Setelah bergumul lama, ia memilih untuk tidak hadir dalam pertemuan tersebut dan terjun ke dalam pertempuran melawan tugas-tugasnya yang notabene hampir mencapai dead line.
Pendek kata, tugas berhasil diselesaikan, dan ia bertemu dengan teman komunitasnya. Mereka bertanya mengapa tidak dapat hadir, dan ia menjelaskannya kepada mereka. Lalu temannya menlontarkan komentar yang katanya membuat dia kesal. Komentar yang mengatakan bahwa ia seharusnya lebih dapat membagi waktu lagi. Dan kemudian saat berdoa bersama, temannya mendoakan ia dengan memohon agar Tuhan memberikan rahmat kebijaksanaan baginya agar dapat membagi waktu lebih lagi.
And, the negative come first, ia kesal katanya. Mengatakan bahwa temannya menyindir dan malah mendoakan ia seakan akan ia benar benar seorang yang tidak dapat memenuhi janji atau komitmennya. Dan ia mengatakan bahwa ia menjadi malas bertemu dengan teman-temannya itu.
I am a little bit confuse, mengapa ia tidak melihat itu sebagai suatu yang positif, at least temannya care dan memperhatikan kebutuhannya. Dan mau menolong walau hanya sebatas doa. Doakan besar kuasanya. But I do know how she felt at that time.
Eh, wait apakah pikiran negative juga datang pada anda saat ini? Pikiran negative tentang sahabatku itu?
Contoh kedua yach diriku sendiri. Setelah aku sadari, tidak heran rasanya mengapa aku akhir-akhir ini sering terlibat perang mulut yang bodoh dengan pacarku. Mengapa? Yach itu negative come first, setiap kali ia ingin menyampaikan isi perasaannya, (yang notabene biasanya berisikan cemburunya terhadap sikapku yang sering dekat dengan orang lain, kurang perhatiannya diriku kepadanya, dan juga tentu karena hubungan kami yang dekat tapi jauh. Maklum hubungan long distance) aku selalu menyela dan mengatakan bahwa ia terlalu menuntut sesuatu dari diriku. Tapi aku lupa kalau afterall relationship is not about "ME" right? It's about "US". Tapi ya itu, negative come first.
Contoh ketiga; moga-moga ngga bosan adalah diri kita masing-masing. Aku rasa kalau kita boleh jujur terhadap diri kita sendiri, entah berapa ratus, ribu, bahkan tak terhitung kali kita memiliki pikiran negative terhadap musuh, teman atau bahkan suami/istri or keluarga kita.
Saat seseorang mengambil keputusan yang tidak sesuai dengan keputusan kita, pikiran itu datang dan bahkan kadang meraja. Saat seorang teman bersikap bodoh (bodoh menurut kita sih), pikiran itu datang kembali dan bahkan membuat kita bertindak lebih bodoh. Atau saat seseorang memang melakukan kesalahan dan pikiran itu datang dan menetap di dalam diri kita. Aneh tapi nyata. Mungkin hal ini harus diikutsertakan ke dalam acara Ripley - Believe it or not.
Semua ini membuat aku bertanya, why negative always come first? Apakah tidak ada sama sekali positive thinking dalam diri kita? Or pikiran positif tersebut ada tetapi selalu dikalahkan oleh si negative? Apakah ini merupakan trend jaman? Ataukah ini merupakan suatu cacat jiwa yang tidak terobati?
Tidak salah memang kalau Salomo bin Daud menuliskan nasihat-nasihatnya seperti yang tertulis dalam kitab Amsal. Mungkin ada saatnya pikiran positif dapat meraja di atas segala pikiran negative. Mungkin dengan mendengarkan nasihat Salomo, aku dapat memenangkan pertempuran ini.
Hai anakku, perhatikanlah hikmatku, arahkanlah telingamu kepada kepandaian yang kuajarkan, supaya engkau berpegang pada kebijaksanaan dan bibirmu memelihara pengetahuan. (Amsal 5:1-2) Siapa lekas naik darah, berlaku bodoh, tetapi orang yang bijaksana, bersabar. (Amsal 14:17) Celakalah mereka yang memandang dirinya bijaksana, yang menganggap dirinya pintar! (Amsal 5:21) (Dan masih nasihat lainnya)
Akhir kata, terlintas dalam pikiranku suatu alasan klise yang mungkin akan tetap terpakai abadi di dalam kehidupan ini. "Ah, kita kan cuma manusia biasa, lagi pula nobody is perfect".
Well indeed, nobody is perfect, but yang menjadi pertanyaan adalah sejauh mana aku mau berusaha mencapai ke-perfect-an itu, sama seperti Bapaku yang perfect. Negative should come first or should never come?
Yang berusaha ngga negatif,
Kwang
No comments:
Post a Comment