Alkisah ada sebuah cerita, ada sepasang suami istri yang saling mencinta. Si istri adalah seorang Katolik yang taat sedangkan si suami adalah seorang penganut freethinker. Selama bertahun-tahun sang istri berdoa dengan tekun agar si suami dapat menerima Kristus dan dibaptis. Suatu ketika doa sang istri terjawab, si suami mau dan akhirnya dibaptis sebagai seorang katolik.
Tidak lama setelah si suami di baptis, tiba-tiba ia terserang stroke dan separuh dari bagian tubuhnya menderita kelumpuhan. Sang istri sedih dan marah. Terlarut dalam kesedihannya ia memilih untuk tidak lagi percaya kepada Tuhan, ia berhenti berdoa dan berhenti ke gereja. Tuhan menjadi objek kesedihannya. Tuhanlah yang menyebabkan suaminya menderita kelumpuhan.
Aku lalu teringat akan cerita lainnya, alkisah ada 2 orang kakak beradik, karena miskinnya keluarga, mereka masing-masing hanya memiliki sepasang sepatu yang kumal dan tak layak pakai sebenarnya. Suatu ketika sepatu si adik hilang karena kelalaian kakaknya, yach, secara tidak di sengaja. Pendek cerita, suatu ketika disekolah si kakak mengadakan pertandingan lari lintas alam, dan hadiah kedua adalah sepasang sepatu putih yang cantik.
Si kakak mengikuti perlombaan tersebut dengan harapan agar ia dapat menang dan mendapatkan hadiah kedua tersebut untuk si adik. Dalam pertandingan secara tak sengaja si kakak terjebak dalam kubangan lumpur dan sepatunya tersangkut di dalam lumpur. Tidak berhasil mengambil sepatunya kembali, si kakak terpaksa berlari tanpa alas di tanah berbatu untuk memenangkan sepatu tersebut. Akhirnya, dengan menangis menahan sakit dikakinya, si kakak bertahan dan terus berlari dan dia berhasil mendapatkan sepatu tersebut untuk adiknya.
A stayer or a quitter? Kalau kita lihat di sekeliling kita, banyak sekali diantara kita yang sering memilih untuk menjadi 'quitter'. Kita lihat banyak orang memilih untuk berhenti kerja karena tidak cocok dengan atasannya, daripada mencari jalan keluar bersama atasannya.
Atau memilih keluar dari komunitas karena cekcok dengan temannya daripada mencari jalan keluar untuk memecahkan masalah. Memilih berhenti berdoa saat masalah atau cobaan menghalang daripada bertekun didalam doa.
Memilih berhenti belajar musik karena takut susah dan menghabiskan waktu padahal awalnya bersemangat sekali. Memilih berhenti dan lari pada saat diri kita merasa ada tembok yang menghalangi.
Aku akui menjadi seorang 'quitter' lebih mudah daripada menjadi seorang 'stayer'. Walau kalau ditanya aku pasti menjawab ingin menjadi seorang stayer. Biar aku terlihat seperti orang yang gagah. Hahahaha.
Tapi, sebenarnya siapa yang tidak mau menjadi seorang stayer? Lebih mudah mengatakan daripada melakukan. Mungkin saat kita mengalami seperti apa yang si istri di atas alami kita juga akan mengambil keputusan yang sama, atau dalam keadaan terjepit seperti si kakak, kita juga mungkin melakukan hal yang mulia. Atau sebaliknya? Hanya kita yang tau, oh tidak, kita dan Tuhan yang tahu.
Aku tanya diriku, "am I a stayer or a quitter?"
Ah, aku tak tahu. Anybody can help me?
God Bless,
Yang bingung
No comments:
Post a Comment